AFRIKA Selatan memang memahatkan ''rekor'' sebagai tuan rumah pertama dalam sejarah Piala Dunia yang tak lolos ke babak kedua. Mereka mengawali laga pembuka Piala Dunia pada 11 Juni di Stadion Soccer City, Johannesburg, kontra Meksiko dengan berbagi satu angka dan diempaskan Uruguay dengan skor telak 3-0 pada 17 Juni di Stadion Loftus Versfeld, Pretoria.
Namun, dalam laga pada 22 Juni di Stadion Free State, Bloemfontein, Afsel mampu mempecundangi Prancis dengan skor 2-1. Sundulan Bongani Khumalo pada menit ke-20 dan sontekan Katlego Mphela pada menit ke-37 memaksa Les Bleus -julukan tim Prancis- angkat koper secara tragis dan memalukan. Semboyan Prancis ''semua bersatu demi mimpi baru'' pun kuyup dalam isak tangis. Dan, walau terpental di babak penyisihan, Afsel meninggalkan lapangan hijau dengan kepala tegak.
Suporter Bafana Bafana pantas bersedih, namun tak serta-merta tenggelam dalam lautan duka. Sentimen etnik dalam pengertian positif senantiasa digelombangkan untuk tim negara lain dari Benua Hitam semisal Ghana, Kamerun, Aljazair, Pantai Gading, dan Nigeria. Memang, seluruh suporter negara-negara Afrika telah mufakat bulat seraya berdaulat saling mengangsur dukungan. Piala Dunia rupanya menjadi momentum strategis untuk mengikat negara-negara Benua Hitam dalam simpul nationalism-humanitarian.
Padahal, berwarsa-warsa silam negara-negara tersebut kerap menjadi korban telak sejarah politik scrambled alias rebutan tanah jajahan, emas, gading gajah, dan sumber alam lain yang menggiurkan. Negara-negara di kawasan pesisir Afrika Barat (misalnya, Pantai Gading, Ghana, Nigeria, dan Kamerun) adalah negeri sepupuan yang sering berkonflik di ranah politik. Tapi, di atas rumput hijau mereka dipersatukan dalam damai sepak bola. Ternyata, nasionalisme rumput hijau bisa dirajut. Mimpi Nelson Mandela perlahan menuai kenyataan.
Nasionalisme rumput hijau sejatinya telah menggema sejak pionir organisasi sepak bola, ''The Football Association'', diikrarkan sejumlah pelajar-mahasiswa di London dan Cambridge pada 1863. Beberapa warsa kemudian Federation Internationale De Football Amateur terbentuk di Prancis sekaligus menandai ekspansi sepak bola ke seluruh penjuru dunia, hatta ke Indonesia menyapa masyarakat bumiputra.
Memang benar, sepak bola bukanlah tradisi genuine masyarakat bumiputra. Sebab, mereka lebih akrab dengan sepak takraw berikut segenap aturan mainnya daripada tradisi sepak bola yang dibawa Belanda pada awal abad ke-19 sembari mengeratkan cengkeraman kuku kolonialisme. Tempo itu, sepak bola sangat elitis. Hanya bisa dimainkan tuan-tuan Belanda dan kalangan inlander dengan strata sosial sepadan. Sementara masyarakat bumiputra cukup menjadi penonton.
Kendati demikian, lambat laun sepak bola menjelma ikon olahraga yang populis. Serupa cendawan di musim penghujan, tradisi sepak bola mulai tumbuh dalam keseharian masyarakat bumiputra. Pada 1893 Road-Wit tercatat sebagai klub sepak bola pertama yang muncul di Indonesia. Dua tahun kemudian, 1895, lahir klub Victory di Surabaya.
Fenomena itu pun menginspirasi lahirnya klub-klub sepak bola di berbagai daerah. Sebut saja, Vorstenlandsche Voetbal Bond di Surakarta, Voetbalbond Indonesia Jacatra di Magelang, Madioenshe Voetbal Bond di Madiun, Bandoengshe Indonesische Voebal Bond di Bandung, Persatuan Sepak Bola Mataram di Jogjakarta, Persis di Semarang, Voetbal Lamongan Organisatie di Lamongan, Malangsche Voetbal Bond Uni di Malang, dan Banjarmasin Leerling Voetbal Club di Banjarmasin.
Setidaknya ada tiga alasan terbentuknya klub sepak bola bumiputra. Pertama, perasaan dianaktirikan perserikatan sepak bola pemerintah Belanda, yakni Nederlandsch Indische Voebal Bond (NIVB). Kedua, NIVB hanya bergaung di kota-kota besar, semisal Jakarta (Batavia), Surabaya, Bandung, dan Semarang, sehingga tak terjangkau masyarakat bumiputra di daerah. Dan, ketiga, kebutuhan untuk menempa kekuatan serta kebugaran fisik sebagai sarana penunjang utama cita-cita Indonesia merdeka.
Seiring dengan menguatnya tradisi sepak bola tersebut, di altar tahun 1900-an spirit nasionalisme menggugah semangat kebangsaan masyarakat bumiputra untuk lepas dari belenggu kolonialisme Belanda. Lahirnya Boedi Oetomo pada 1908 adalah tonggak yang terpancang sebagai simbol kebangkitan nasionalisme kebangsaan.
Dalam konteks demikian, sepak bola memainkan fungsi ganda. Bukan sekadar sarana olahraga, juga sebagai media perekat nasionalisme. Organisasi kepemudaan semisal Jong Java, Jong Sumatera, dan Jong Ambon larut dalam penetrasi nasionalisme kebangsaan itu. Setiap kali diselenggarakan kongres, pasti didahului dengan pertandingan sepak bola.
Hanya, ketika pecah pemberontakan komunis pada 1926 arah langkah pergerakan nasionalisme sempat ikut goyah. Pemerintahan Gubernur Jenderal De Jonge ketika itu bereaksi keras dengan membatasi lajur gerakan nasionalisme. Terutama dengan cara memisahkan tokoh-tokoh pergerakan dari pergaulan masyarakat bumiputra. Kebebasan berserikat dan berpendapat dibonsai habis-habisan.
Tapi, gerakan nasionalisme tak pernah mati. Dan, sepak bola menjadi lahan subur untuk menyemai gagasan berikut seluruh atribut nasionalisme kebangsaan. Melalui sepak bola masyarakat bumiputra mulai diorganisasi sebagai kekuatan perjuangan. Latihan sepak bola bersama maupun pertandingan antarklub dan antarorganisasi pemuda difungsikan sebagai ajang tukar pikiran dan saling memberikan informasi guna terbentuknya kesatuan cita-cita kemerdekaan.
Tak berhenti di situ, wacana aliansi nasionalisme klub sepak bola juga menggema. Dalam hal ini, masyarakat Tionghoa yang dipertautkan oleh penderitaan kolonialisme serupa masyarakat bumiputra memiliki andil yang amat penting. Sejumlah klub sepak bola Tionghoa semisal Donar (Tjie Ying Hwee), Asiatik Eevio (Peng Ho Sia), Tiong Un Tong, Ik Yoe Sia, dan Union Tjoe Tie Hwe menunjukkan solidaritas nasionalisme yang begitu elegan. Dengan memanfaatkan jaringan global dibentuklah Comite Kampionwedstrijden Tiong Hoa pada 1927, lalu mengerucut pada pembentukan Hwa Nan Voetbal Bond yang lebih kental dengan nuansa nasionalisme. Pada 1930 tercetus persiapan membentuk Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia di Jogjakarta.
Gerakan nasionalisme melalui sepak bola untuk melawan dominasi Belanda menemui momentumnya saat terjadi aksi boikot pertandingan Indonesia Marine yang dipayungi Nederlandsch Indische Voebal Bond melawan kesebelasan gabungan Arab-Tiongkok di lapangan Tambaksari, Surabaya, pada 13 Mei 1932.
Sebenarnya laga tersebut sangat prestisius karena diikuti tokoh-tokoh elite Belanda. Apalagi, dipimpin wasit wanita, Ny Sardjono. Dia beratribut menarik, memakai sarung dan kebaya. Akibat aksi boikot itu, Belanda tak hanya kehilangan muka, tetapi juga rugi 20 ribu gulden.
Jelas sudah, lanskap sejarah mementaskan betapa heroik gerakan nasionalisme kebangsaan melalui sepak bola. Kini, setelah hampir seperempat abad lewat, nasionalisme itu terlihat karut-marut. Panggung sepak bola Indonesia serasa tak pernah sepi huru-hara.
Kerusuhan suporter berbasis primordialitas seperti konflik Semarang-Jepara, Jogja-Solo, Jakarta-Bandung, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia. Permainan sepak bola yang menjurus kasar dan dipungkasi tawuran antar pemain bukan kisah usang. Apa pun bisa dilakukan demi sebuah kemenangan, termasuk main mata dengan politik uang.
Kemenangan dalam sepak bola bukanlah segala-galanya. Dan, kedewasaan suporter Afrika sudah sepatutnya dijadikan pelajaran untuk merajut kembali nasionalisme yang telah terkoyak. Ya, nasionalisme rumput hijau. (*)
-------------------------------------------------------
Oleh Saiful Amin Ghofur,
pengikmat bola dan peneliti muda MSI UII Jogjakarta
-------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.