14 Agu 2010

Homoseksualitas Dalam Sepakbola

Sepakbola adalah olahraga keras yang identik dengan machoisme kaum lelaki. Adakah tempat bagi kaum homoseksual dalam dunia sepakbola?

Penggemar Chelsea pasti masih ingat nama Graeme Le Saux, bekas bek kiri The Blues dan timnas Inggris. Selama 14 tahun ia mengalami ejekan dari koleganya dan lawan mainnya karena dianggap gay. Ia takut pergi bersama rekan-rekannya. Saat ia sampai ke tempat latihan, ia merasa gugup. “
“Saya merasa seperti anak sekolah yang mengalami bully di sekolah”, ujar Le Saux dalam otobiografinya.

Le Saux mendapat hinaan dari semua orang, termasuk dari striker Liverpool, Robbie Fowler, yang membungkukkan badan di depannya dan menunjuk ke arah bokong saat pertandingan sebelum ribuan suporter meneriakkan yel-yel yang memanaskan telinga Le Saux.

Masalahnya adalah, Graeme Le Saux bukan seorang gay.
Muara masalah Le Saux adalah karena ia memiliki minat dan hobi yang berbeda dengan para sepakbola kebanyakan. Ia tertarik pada seni, membaca surat kabar The Guardian (yang juga kegemaran penulis, tapi yakinlah bahwa penulis bukan gay), dan tidak gemar bermabuk-mabukan. Le Saux frustrasi dan sempat memikirkan untuk berhenti bermain sepakbola.
Tudingan yang tidak tepat akan orientasi seksual Le Saux belum ada apa-apanya dibanding dengan yang dialami Justin Fashanu, pesepakbola Inggris pertama yang mengaku terbuka bahwa ia gay.

Fashanu adalah salah satu pemain bertalenta pada zamannya. Ia menjadi pemain berkulit hitam pertama yang dibeli dengan harga 1 juta Pounds. Tapi karir Fashanu menurun setelah bermain untuk manajer legendaris Brian Clough di Nottingham Forest. Mendengar bahwa Fashanu sering mengunjungi bar kaum gay, Clough mengonfrontasi Fashanu, seperti yang tertera dalam otobiografinya, ”’Kemana kamu pergi jika menginginkan roti?’ tanya Clough. ’Ke tukang roti’ jawab Fashanu. ’Kemana kamu pergi jika menginginkan daging?’ ’Ke tukang daging’. ’Jadi kenapa kamu masih terus pergi ke klub gay itu?’

Justin Fashanu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada tahun 1998.
The Justin Campaign, dinamakan untuk mengenang Fashanu, adalah salah satu grup pejuang keberagaman dan hak kaum gay yang mengungkapkan kekecewaan mereka setelah FA secara mendadak membatalkan peluncuran film yang ditujukan untuk memberantas homofobia. Sebelumnya dikabarkan bahwa FA gagal untuk mencari pemain ternama yang mendukung film tersebut, tapi FA sekarang melakukan penilaian ulang terhadap film yang menampilkan adegan seorang pria melontarkan teriakan anti-gay kepada teman kerjanya sebelum melakukan hal yang sama dalam stadion sepakbola. Film tersebut tidak akan pernah dirilis pada bentuk aslinya.

Walaupun organisasi sepakbola Inggris belum mengambil keputusan, homofobia masih terus terjadi pada olahraga ini. Stadion-stadion masih dipenuh oleh chant anti-gay yang ofensif, dan candaan seputar homofobia terus terjadi dalam ruang ganti pemain.

Tidak banyak, tapi ada beberapa atlet ternama dunia yang mengaku terbuka bahwa mereka adalah gay. Bekas pemain NBA, John Amaechi; Peloncat indah Matthew Mitcham, dan Gareth Thomas, pemain rugby asal Wales yang juga bekas kapten British Lions, adalah salah satu dari sedikit nama tersebut.

Dari 4.000 pemain sepakbola profesional di Inggris dan Wales, tidak ada satu pun yang diketahui terbuka sebagai gay. Paul Elliott, bekas pemain Chelsea dan Celtic yang bekerja bagi organisasi Kick It Out, mengatakan bahwa setidaknya terdapat 12 pemain Premier League yang gay. Setelah Gareth Thomas mengaku orientasi seksualnya, publisis Max Clifford mengungkapkan bahwa ia memberikan advis kepada 2 pemain Premiership yang gay agar tetap merahasiakan orientasi seksualnya karena sepakbola ”tetap berada dalam era kegelapan, tenggelam dalam homofobia.”

Asosiasi Pesepakbola Profesional (PFA) telah menerima beberapa saran dari Amaechi mengenai cara menanggulangi homofobia dalam sepakbola. ”Tidak ada gunanya mendiskriminasi orang gay dan tidak,” ujar chief executive Gordon Taylor.”Sepakbola adalah dunia yang macho, tapi begitu juga militer, dan sekarang itu telah berubah.”

Siapa yang harus disalahkan untuk segala represi dan prasangka dalam sepakbola? Fans? Pemain yang homofobik? Atau FA dan klub yang tidak cepat tanggap terhadap perkembangan dunia modern? Ben Summerskill dari Stonewall mendeskripsikan bahwa sepakbola adalah institusi yang sudah homofobik dari awal.”FA terus menyangkal masalah ini dan sampai belakangan, mereka tidak memandang hal ini sebagai sebuah masalah yang penting.”

Lingkungan yang homofobik secara tradisional seperti dunia perbankan dan militer, menurut Summerskill, lebih fleksibel dari sepakbola dalam menyikapi homofobia.

“Ironis bahwa apa yang terjadi dalam angkatan bersenjata lebih maju daripada sepakbola. Kita bersedia mengirim tentara yang mengaku gay dan lesbian untuk berperang di Afghanistan, tapi kita tidak ingin mengirimkan pemain gay untk berjuang di Piala Dunia.”
Summerskill percaya bahwa ada beberapa pesepakbola ternama yang gay dan, pada posisi yang sama seperti Gareth Thomas, orientasi seksualnya diketahui dan diterima oleh rekan-rekan terdekatnya. Thomas mengaku bahwa ia teman-teman mengetahui kondisi dirinya tiga tahun sebelum ia mengatakannya pada publik.
Clifford tidak yakin akan ada bintang Premiership yang akan mengaku gay dalam waktu dekan ini, tapi jika ada, sangat mungkin yang melakukannya adalah pemain berpengalaman yang sudah memiliki segala dan tidak memiliki sesuatu untuk dipertaruhkan. Summerskill mengatakan bahwa ia akan terkejut jika tidak ada pemain yang mengaku gay dalam 10 tahun ke depan. Tapi ia meyakini bahwa para pemain tidak memiliki kewajiban untuk membeberkan orientasi seksual mereka pada publik, walaupun hal tersebut tak diragukan lagi akan membantu banyak sekali orang muda yang dikonfrontasi oleh lingkungan karena seksualitas mereka. Ia lebih menekankan aspek positifnya, seperti yang telah dilakukan oleh para bintang olahraga gay, seperti Thomas dan Martina Navratilova.

Thomas, yang mengaku gay pada periode akhir karirnya, mengakui bahwa ia “tidak akan pernah bisa melakukan hal tersebut tanpa menjadi pemain hebat yang dihormati orang lain”, tapi ia mengatakan bahwa ia menerima respon yang luar biasa sesudahnya.

Di PFA, Taylor mengatakan bahwa kejadian tragis Fashanu masih menghantui para pesepakbola profesional. Tapi ada lebih banyak contoh lagi dari atlet yang terbuka dan jujur akan kondisi dirinya walaupun berada dalam kondisi yang tidak memungkinkan.

Pemain rugby asal Australia, Ian Roberts, adalah atlet profesional pertama dari negara tersebut yang mengaku gay pada tahun 1995; sebuah tindakan berani dalam olahraga yang macho. Saat ia pensiun 3 tahun kemudian, ia mengatakan, “Reaksi publik saat saya mengatakan kondisi saya sebenarnya jauh lebih bermakna dari semua yang saya raih di lapangan.”

sumber :
supersoccer.co.id/liga-inggris/ulasan/content/read/homoseksualitas-dalam-sepakbola/

1 komentar:

Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.

Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.