Michael Oliver, 24 tahun, akan memulai debutnya sebagai wasit termuda dalam sejarah Premier League saat pertandingan Fulham melawan Portsmouth (9/1).
Untuk seorang pemuda yang dibesarkan dalam kota yang memiliki bar bernama The Block and Tackle, nampaknya pilihan karir menjadi wasit adalah ideal. Nama bar di Ashington, tempat kelahiran Sir Bobby Charlton dan saudaranya, Jack, merujuk pada peralatan pengangkat barang, tapi juga bisa menggambarkan secara konotatif bagaimana perjalanan karir Michael Oliver hingga di jenjang seperti ini.
Pria 24 tahun dari Northumberland ini besok akan menjadi wasit termuda sejak Premier League bergulir tahun 1992 saat ia memimpin laga di Craven Cottage.
Pertandingan itu akan menjadi titik tonggak dalam karir Oliver yang cepat menanjak dalam dunia perwasitan yang membuatnya mengikuti jejak ayahnya, Clive, walaupun sang ayah tidak pernah memimpin pertandingan Premier League.
Karir Michael Oliver terus menanjak sebagai wasit sejak ia tidak mengambil kesempatan bermain sebagai pemain muda meskipun ia mendapat tempat di akademi sepakbola klub kesayangannya, Newcastle United.
Ia memulai debutnya sebagai wasit pada usia 14 tahun saat memimpin Coast Colts League di Northumberland. Seminggu setelah ulang tahunnya ke-16, ia memimpin pertandingan senior pada pertandingan Morpeth Sunday League yang keras – bukan pertandingan bagi mereka yang lemah. Saat berusia 18 tahun, ia telah menjadi wasit di Conference Division dan karirnya terus menanjak sesudahnya.
Deretan prestasinya berikut mengagumkan: Hakim garis termuda Football League, wasit termuda Football League, wasit termuda di Wembley, dan ofisial keempat termuda di Premier League.
Oliver, walaupun mengaku terkejut dengan penunjukannya sebagai wasit Premier League, mengatakan, “Saya beruntung. Semua yang saya dapatkan dengan segala rekor termuda ini, saya tidak menargetkan hal tersebut. Saya hanya terus berkonsentrasi bekerja dengan baik.”
Tidak mengejutkan, ia mengatakan bahwa ayahnya adalah pengaruh terbesarnya saat ia memilih karir sebagai wasit yang sejauh ini terbukti benar dan mendapatkan gelar sarjana dalam bidang olahraga dari Universitas Sunderland.
”Saya mendapat ketertarikan menjadi wasit saat menonton ayah saat masih kecil,” ujarnya.
”Ayah adalah pelatih yang tepat bagi saya. Ia memberi masukan yang berharga bagi saya. Kami telah sepakat untuk tidak menganalisa pertandingan satu sama lain tapi jika sesuatu yang besar terjadi, kami akan menonton rekaman pertandingan dan menanyakan opini satu sama lain.”
Ayah bukanlah satu-satunya orang yang membuat kaki Michael Oliver tetap menjejak bumi. Manajer Stoke, Tony Pulis, mengkritiknya di surat kabar setelah timnya kalah dari Preston di Deepdale pada Februari 2008. Oliver mengingat hal tersebut, ”Saat saya pergi ke kampus untuk kuliah keesokan harinya, mereka menempel potongan surat kabar tersebut di dinding sehingga anda bisa menertawakannya. Kami dikirimi DVD agar kami bisa mempelajari pertandingan yang sudah berlangsung dan melihat kesalahan apa saja yang kami buat. Tapi anda harus segera melupakannya dan beralih ke pertandingan selanjutnya.”
Dengan trend yang menunjukkan bahwa para manajer bertendensi menyalahkan wasit bila timnya kalah (yes yes! Sir Alex Ferguson!), Oliver harus berkulit tebal seperti badak agar bisa bertahan sebagai wasit top. Ia dikritik habis oleh kiper Birmingham, Maik Taylor, setelah menghadiahkan penalti bagi Plymouth musim lalu yang membuat kedua tim bermain 1-1 di kandang Birmingham. Tidak hanya itu, Oliver mengusir Taylor keluar lapangan dengan kartu merah.
Tidak cukup demikian, sebagai inisiasi, Oliver juga dicerca oleh pengkritik wasit nomor satu, manajer Crystal Palace, Neil Warnock. Bekas manajer Sheffield United ini murka setelah Oliver menganulir gol Joe Fonte pada ajang FA Cup musim lalu yang menyebabkan Palace kalah 3-4 dari Watford.
Warnock mendeskripsikan keputusan tersebut sebagai sebuah hal yang memalukan sebelum menambahkan dengan sinis, ”Saya tidak bisa memahami bagaimana para wasit bisa mengerti jalannya pertandingan pada usia sedemikian muda. Stuart Attwell juga memiliki umur yang serupa dan mereka sudah berlari sebelum mereka bisa berjalan. Mereka pasti akan menempatkannya (Oliver) di Premier League tahun depan.”
Prediksi sinis Neil Warnock terbukti kebenarannya. Walaupun Oliver percaya dengan kemampuannya, sorotan negatif akan wasit berusia muda akibat peristiwa gol hantu Stuart Attwell, di mana sang wasit muda yang melakukan debut Premier League di usia 25 tahun memberikan gol kepada Reading saat melawan Watford walaupun bola tidak masuk ke gawang, membuatnya sadar bahwa ia akan menjadi sasaran tembak dengan alasan yang sama bila ia melakukan kesalahan.
“Hanya setelah itu, jika saya melakukan keputusan yang salah, atau jika Stuart melakukan keputusan yang salah, maka masalah umur akan diangkat,” keluh Oliver. “Tidak hanya itu dianggap sebagai keputusan yang salah, tapi keputusan salah yang dilakukan oleh seseorang berusia 24 tahun.”
Oliver telah terbiasa melakukan keputusan sulit. Ia adalah wasit pertama yang memberikan penalti dan kartu merah di Stadion Wembley yang baru saat play-off divisi Conference antara Exeter dan Morecambe tiga tahun lalu.
Tapi, untuk mencegahnya menjadi besar kepala dan gemar menjadi pusat perhatian publik serta pers, ia merasa bahwa bercengkerama dengan teman-temannya di Ashington sangat membantu.
”Walaupun pekerjaan saya menjadi wasit membuat saya sibuk bepergian ke mana-mana, saya masih merasa bahwa rumah saya adalah Ashington dan saya masih suka menonton pertandingan di TV bersama teman-teman di bar.”
Bahkan, Oliver menjadi manajer bagi tim sepakbola bar-nya tersebut bila ia sedang lowong. Tapi, jika debutnya di Craven Cottage berjalan dengan mulus, maka tim sepakbola The Block and Tackle nampaknya harus mencari manajer yang baru.
sumber : supersoccer.co.id
Pria 24 tahun dari Northumberland ini besok akan menjadi wasit termuda sejak Premier League bergulir tahun 1992 saat ia memimpin laga di Craven Cottage.
Pertandingan itu akan menjadi titik tonggak dalam karir Oliver yang cepat menanjak dalam dunia perwasitan yang membuatnya mengikuti jejak ayahnya, Clive, walaupun sang ayah tidak pernah memimpin pertandingan Premier League.
Karir Michael Oliver terus menanjak sebagai wasit sejak ia tidak mengambil kesempatan bermain sebagai pemain muda meskipun ia mendapat tempat di akademi sepakbola klub kesayangannya, Newcastle United.
Ia memulai debutnya sebagai wasit pada usia 14 tahun saat memimpin Coast Colts League di Northumberland. Seminggu setelah ulang tahunnya ke-16, ia memimpin pertandingan senior pada pertandingan Morpeth Sunday League yang keras – bukan pertandingan bagi mereka yang lemah. Saat berusia 18 tahun, ia telah menjadi wasit di Conference Division dan karirnya terus menanjak sesudahnya.
Deretan prestasinya berikut mengagumkan: Hakim garis termuda Football League, wasit termuda Football League, wasit termuda di Wembley, dan ofisial keempat termuda di Premier League.
Oliver, walaupun mengaku terkejut dengan penunjukannya sebagai wasit Premier League, mengatakan, “Saya beruntung. Semua yang saya dapatkan dengan segala rekor termuda ini, saya tidak menargetkan hal tersebut. Saya hanya terus berkonsentrasi bekerja dengan baik.”
Tidak mengejutkan, ia mengatakan bahwa ayahnya adalah pengaruh terbesarnya saat ia memilih karir sebagai wasit yang sejauh ini terbukti benar dan mendapatkan gelar sarjana dalam bidang olahraga dari Universitas Sunderland.
”Saya mendapat ketertarikan menjadi wasit saat menonton ayah saat masih kecil,” ujarnya.
”Ayah adalah pelatih yang tepat bagi saya. Ia memberi masukan yang berharga bagi saya. Kami telah sepakat untuk tidak menganalisa pertandingan satu sama lain tapi jika sesuatu yang besar terjadi, kami akan menonton rekaman pertandingan dan menanyakan opini satu sama lain.”
Ayah bukanlah satu-satunya orang yang membuat kaki Michael Oliver tetap menjejak bumi. Manajer Stoke, Tony Pulis, mengkritiknya di surat kabar setelah timnya kalah dari Preston di Deepdale pada Februari 2008. Oliver mengingat hal tersebut, ”Saat saya pergi ke kampus untuk kuliah keesokan harinya, mereka menempel potongan surat kabar tersebut di dinding sehingga anda bisa menertawakannya. Kami dikirimi DVD agar kami bisa mempelajari pertandingan yang sudah berlangsung dan melihat kesalahan apa saja yang kami buat. Tapi anda harus segera melupakannya dan beralih ke pertandingan selanjutnya.”
Dengan trend yang menunjukkan bahwa para manajer bertendensi menyalahkan wasit bila timnya kalah (yes yes! Sir Alex Ferguson!), Oliver harus berkulit tebal seperti badak agar bisa bertahan sebagai wasit top. Ia dikritik habis oleh kiper Birmingham, Maik Taylor, setelah menghadiahkan penalti bagi Plymouth musim lalu yang membuat kedua tim bermain 1-1 di kandang Birmingham. Tidak hanya itu, Oliver mengusir Taylor keluar lapangan dengan kartu merah.
Tidak cukup demikian, sebagai inisiasi, Oliver juga dicerca oleh pengkritik wasit nomor satu, manajer Crystal Palace, Neil Warnock. Bekas manajer Sheffield United ini murka setelah Oliver menganulir gol Joe Fonte pada ajang FA Cup musim lalu yang menyebabkan Palace kalah 3-4 dari Watford.
Warnock mendeskripsikan keputusan tersebut sebagai sebuah hal yang memalukan sebelum menambahkan dengan sinis, ”Saya tidak bisa memahami bagaimana para wasit bisa mengerti jalannya pertandingan pada usia sedemikian muda. Stuart Attwell juga memiliki umur yang serupa dan mereka sudah berlari sebelum mereka bisa berjalan. Mereka pasti akan menempatkannya (Oliver) di Premier League tahun depan.”
Prediksi sinis Neil Warnock terbukti kebenarannya. Walaupun Oliver percaya dengan kemampuannya, sorotan negatif akan wasit berusia muda akibat peristiwa gol hantu Stuart Attwell, di mana sang wasit muda yang melakukan debut Premier League di usia 25 tahun memberikan gol kepada Reading saat melawan Watford walaupun bola tidak masuk ke gawang, membuatnya sadar bahwa ia akan menjadi sasaran tembak dengan alasan yang sama bila ia melakukan kesalahan.
“Hanya setelah itu, jika saya melakukan keputusan yang salah, atau jika Stuart melakukan keputusan yang salah, maka masalah umur akan diangkat,” keluh Oliver. “Tidak hanya itu dianggap sebagai keputusan yang salah, tapi keputusan salah yang dilakukan oleh seseorang berusia 24 tahun.”
Oliver telah terbiasa melakukan keputusan sulit. Ia adalah wasit pertama yang memberikan penalti dan kartu merah di Stadion Wembley yang baru saat play-off divisi Conference antara Exeter dan Morecambe tiga tahun lalu.
Tapi, untuk mencegahnya menjadi besar kepala dan gemar menjadi pusat perhatian publik serta pers, ia merasa bahwa bercengkerama dengan teman-temannya di Ashington sangat membantu.
”Walaupun pekerjaan saya menjadi wasit membuat saya sibuk bepergian ke mana-mana, saya masih merasa bahwa rumah saya adalah Ashington dan saya masih suka menonton pertandingan di TV bersama teman-teman di bar.”
Bahkan, Oliver menjadi manajer bagi tim sepakbola bar-nya tersebut bila ia sedang lowong. Tapi, jika debutnya di Craven Cottage berjalan dengan mulus, maka tim sepakbola The Block and Tackle nampaknya harus mencari manajer yang baru.
sumber : supersoccer.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimanakah tanggapan Anda tentang hal ini.
Silahkan menuliskan komentar Anda pada opsi Nama/URL, lalu tulis nama anda dan URL blog/website anda pada kotak yang tersedia.
Jika anda tidak punya blog/website, kolom URL boleh dikosongi.